tag:blogger.com,1999:blog-46096146020750785112024-02-02T12:58:04.574-08:00Sembarang Ono,KetenagakerjaanAmier_spirithttp://www.blogger.com/profile/11504901989410780993noreply@blogger.comBlogger12125tag:blogger.com,1999:blog-4609614602075078511.post-14389123834814534652010-02-16T20:03:00.000-08:002010-02-16T20:03:21.018-08:00NOTULEN/RISALAH PERUNDINGANContoh Notulen/Risalah perundingan <br />
<br />
NOTULEN/RISALAH PERUNDINGAN<br />
Pada hari ini……………………………… tanggal…………………………….. kami yang bertanda tangan di bawah ini ;<br />
Nama :…………<br />
Jabatan :…………….<br />
Dst..<br />
Dalam hak ini bertindak untuk dan atas nama PT…………….,berkedudukan di …………………….., yang selanjutnya di sebut PIHAK PENGUSAHA.<br />
Nama :…………….<br />
Jabatan :……………<br />
Dst<br />
Dalam hak ini bertindak untuk dan atas nama PT…………….,berkedudukan di …………………….., Anggota PUK F.SP……………….yang selanjutnya di sebut PEKERJA.<br />
Para pihak menerangkan bahwa bertempatdi kantor Perusahaan PT……………………..,beralamat di jl……………….. telah diadakan perundingan mengenai Perselisihan……………………………………………………………………………………………<br />
(rinci dengan jelas permasalahanya) <br />
Untuk ini para pihak melakukan perundingan dan menyampaikan pendapatnya masing-masing,sebagai berikut <br />
Pendapat Pihak Pengusaha :<br />
…………………………………………………………………………………………………………….dst<br />
Pendapat Pihak Pekerja :<br />
…………………………………………………………………………………………………………….dst<br />
Kesimpulan :<br />
Dalam perundingan ini para pihak tidak tercapai kata sapakat,untuk itu salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat mencatatkan perselisihan kepada Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.<br />
Demikian risdalah perundingan ini di buat dan di tanda tangani oleh para pihak.<br />
PIHAK PENGUSAH PIHAK PEKERJA<br />
…………………………. ……………………….<br />
<i>Catatan : apa bila menyangkut keseluruhan anggota maka tersebut dalam hal ini intuk dan atas nama seluruh anggota……………………..dst<br />
Apabila perundingan tercapai kata sepakat dalam perundingan BIPARTIT/TRIPRTIT, maka segera buat PERJANIJIAN BERSAMA dan di tanda tangani oleh para pihak.<br />
<br />
Untuk contoh perjanjian bersama tunggu posting berikutnya.<br />
</i>Amier_spirithttp://www.blogger.com/profile/11504901989410780993noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4609614602075078511.post-25925932460953939522010-02-08T05:27:00.000-08:002010-02-08T06:35:02.924-08:00TEKNIS PEMBUATAN KELENGKAPAN ADMINISTRASI PPHI SESUAI UU NO. 2 TAHUN 2004TEKNIS PEMBUATAN KELENGKAPAN ADMINISTRASI PPHI SESUAI UU NO. 2 TAHUN 2004 <br />Contoh Surat kuasa khusus untuk di di Disnaker<br /><br />Surat kuasa<br /><br />Yang bertanda tangan dibawah ini :<br />Nama :………………………<br />Pekerjaan :………………………<br />Bagian :………………………<br />No Reg Anggota :………………………<br />Alamat Perusahaan :………………………<br />Alamat rumah :………………………<br /><br />Dalam hal ini memilih tempat kediaman (domicile)hukum di kantor kuasanya tersebutdi bawah ini: ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………<br />Dengan ini menerangkan memberi kuasa dengan hak substitusi dan hak retensi baik bersama-sama maupun masing-masing sendiri kepada: ………………………………………………………………………………………………………………………….<br />1. ............ (isi dengan nama), jabatan …………………………………….<br />2. ............ (isi dengan nama), jabatan …………………………………….<br />(sesuaikan dengan kuasa yang ikut)<br /><br />Pengurus PUK F.SP…………- SPSI PT. ………………………………………………………., berkantor di Jl. ………………………………… ……………………………………………………………………………, ;……………………………………………………………………………………………<br /><br />--------------------------------------KHUSUS----------------------------------------<br /><br />Bertindak untuk dan atas nama PEMBERI KUASA, dalam hal menghadap di hadapan Dinas Tenaga Kerja Kota Malang untuk mencatatkan Perkara Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh PT. …........... …………………….., beralamat di Jl. ………………………………………………………………………………………………………………………….<br />Kepada PENERIMA KUASA diberi kuasa sepenuhnya untuk mewakili/mendampingi PEMBERI KUASA dalam hal menghadap pejabat-pejabat, instansi-instansi, baik dihadapan maupun diluar Dinas Tenaga Kerja Kota Malang, dan melakukan segala sesuatu yang dirasakan perlu oleh PEMBERI KUASA, antara lain membuat dan menandatangani serta mengajukan surat-surat, menghadiri sidang-sidang, mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi yang dibutuhkan untuk pengurusan perkara bagi PEMBERI KUASA, mengadakan perdamaian serta membuat dan menandatangani kwitansi penerimaan uang, mewakili/mendampingi PEMBERI KUASA, mengajukan kasasi serta melakukan upaya hukum apapun juga, dan sebagainya yang diperbolehkan menurut hukum bagi seorang Kuasa/Penasihat Hukum.<br />Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan sebagian atau seluruhnya kepada orang lain dengan ha subtitusi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum dan syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh undang-undang dan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya serta yang berkepentingan harap maklum adanya.<br /><br />PENERIMA KUASA MALANG,…………………………..2010<br />PEMBERI KUASA Materai Rp.6000,-<br /><br /><br />.............Amier_spirithttp://www.blogger.com/profile/11504901989410780993noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4609614602075078511.post-31086769292059018852010-01-30T23:14:00.000-08:002010-01-30T23:16:17.665-08:00Antena Pemancar TV Vhf & UhfAntena Pemancar TV vhf & uhfAmier_spirithttp://www.blogger.com/profile/11504901989410780993noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4609614602075078511.post-43622226385720015502010-01-30T23:12:00.000-08:002010-01-30T23:13:54.398-08:00jenis antena untuk pemancar FMAmier_spirithttp://www.blogger.com/profile/11504901989410780993noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4609614602075078511.post-73525719756981544442010-01-29T04:58:00.000-08:002010-01-29T05:02:07.983-08:00KEP. 102/MEN/VI/2004 TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBURKEPUTUSAN<br />MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI<br />REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR KEP. 102/MEN/VI/2004<br />TENTANG<br />WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR<br />MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,<br /><br />Menimbang : <br />a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 78 ayat (4) Undang-undang Nomor 13<br />Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perlu diatur mengenai waktu kerja<br />lembur dan upah kerja lembur;<br />b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;<br /><br />Mengingat : <br />1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya<br />Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari<br />Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Repupblik<br />Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);<br />2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah<br />(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan<br />Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);<br />3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan<br />(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan<br />Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);<br />4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan<br />Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran<br />Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran<br />Negara Republik Indonesia Nomor 3952);<br />5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001 tentang<br />Pembentukan Kabinet Gotong Royong;<br /><br />Memperhatikan : <br />1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional<br />tanggal 23 Maret 2004.<br />2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal<br />23 Maret 2004;<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK<br />INDONESIA TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR.<br /><br />Pasal 1<br />Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :<br />1. Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40<br />(empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu<br />atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima)<br />harikerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan<br />atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah.<br />2. Pengusaha adalah :<br />a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu<br />perusahaan milik sendiri;<br />b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri<br />menjalankan perusahaan bukan miliknya.<br />c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia<br />mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang<br />berkedudukan di luar wilayah Indonesia.<br />3. Perusahaan adalah :<br />a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,<br />milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara<br />yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam<br />bentuk lain;<br />b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan<br />mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk<br />lain.<br />4. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna<br />menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun<br />untuk masyarakat.<br />5. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan<br />dalam bentuk lain.<br />6. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang<br />sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang<br />ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau<br />peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan<br />keluarganya atas suatu pekerja dan/ atau jasa yang telah atau akan dilakukan.<br />7. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.<br /><br />Pasal 2<br />(1) Pengaturan waktu kerja lembur berlaku untuk semua perusahaan, kecuali bagi<br />perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu.<br />(2) Perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud<br />dalam ayat (1) diatur tersendiri dengan Keputusan Menteri.<br /><br />Pasal 3<br />(1) Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu)<br />hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.<br />(2) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk<br />kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat mingguan atau hari libur resmi.<br /><br />Pasal 4<br />(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja, wajib membayar<br />upah lembur.<br />(2) Bagi pekerja/buruh yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu, tidak berhak atas<br />upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan ketentuan mendapat<br />upah yang lebih tinggi.<br />(3) Yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)<br />adalah mereka yang memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana<br />dan pengendali jalannya perusahaan yang waktu kerjanya tidak dapat dibatasi menurut<br />waktu kerja yang ditetapkan perusahaan sesuai denga peraturan perundang-undangan<br />yang berlaku.<br /><br />Pasal 5<br />Perhitungan upah kerja lembur berlaku bagi semua perusahaan, kecuali bagi perusahaan<br />pada sektor usaha tertentu atau pekerjaaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.<br /><br />Pasal 6<br />(1) Untuk melakukan kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan<br />persetujuan tertulis dari pekerja/buruh yang bersangkutan.<br />(2) Perintah tertulis dan persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat<br />dibuat dalam bentuk daftar pekerja/buruh yang bersedia bekerja lembur yang<br />ditandatangani oleh pekerja/buruh yang bersangkutan dan pengusaha.<br />(3) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus membuat daftar pelaksanaan<br />kerja lembur yang memuat nama pekerja/buruh yang bekerja lembur dan lamanya<br />waktu kerja lembur.<br /><br />Pasal 7<br />(1) Perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh selama waktu kerja lembur<br />berkewajiban :<br />a. membayar upah kerja lembur;<br />b. memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya;<br />c. memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja<br />lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih.<br />(2) Pemberian makan dan minum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c tidak boleh<br />diganti dengan uang.<br /><br />Pasal 8<br />(1) Perhitungan upah lembur didasarkan pada upah bulanan.<br />(2) Cara menghitung upah sejam adalah 1/173 kali upah sebulan.<br /><br />Pasal 9<br />(1) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar secara harian, maka penghitungan besarnya<br />upah sebulan adalah upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima) bagi pekerja/buruh yang<br />bekerja 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau dikalikan 21 (dua puluh satu)<br />bagi pekerja/buruh yang bekerja 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.<br />(2) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar berdasarkan satuan hasil, maka upah sebulan<br />adalah upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.<br />(3) Dalam hal pekerja/buruh bekerja kurang dari 12 (dua belas) bulan sebagaimana<br />dimaksud dalam ayat (2), maka upah sebulan dihitung berdasarkan upah rata-rata<br />selama bekerja dengan ketentuan tidak boleh lebih rendah dari upah dari upah<br />minimum setempat.<br /><br />Pasal 10<br />(1) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar perhitungan<br />upah lembur adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah.<br />(2) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap,<br />apabila upah pokok tambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75 % (tujuh puluh lima<br />perseratus) keseluruhan upah, maka dasar perhitungan upah lembur 75 % (tujuh puluh<br />lima perseratus) dari keseluruhan upah.<br /><br />Pasal 11<br />Cara perhitungan upah kerja lembur sebagai berikut :<br />1. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja :<br />a.1. untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar 1,5 (satu setengah)<br />kali upah sejam;<br />a.2. untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar 2(dua) kali<br />upah sejam.<br />2. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi<br />untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu maka :<br />b.1. perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2 (dua) kali<br />upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur<br />kesembilan dan kesepuluh dibayar 4 (empat) kali upah sejam.<br />b.2. apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan upah lembur<br />5 (lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam keenam 3(tiga) kali<br />upah sejam dan jam lembur ketujuh dan kedelapan 4 (empat) kali upah sejam.<br />3. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi<br />untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, maka<br />perhitungan upah kerja lembur untuk 8 (delapan) jam pertama dibayar 2 (dua) kali<br />upah sejam, jam kesembilan dibayar 3(tiga) kali upah sejam dan jam kesepuluh dan<br />kesebelas 4 (empat) kali upah sejam.<br /><br />Pasal 12<br />Bagi perusahaan yang telah melaksanakan dasar perhitungan upah lembur yang nilainya lebih<br />baik dari Keputusan Menteri ini, maka perhitungan upah lembur tersebut tetap berlaku.<br /><br />Pasal 13<br />(1) Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur, maka yang<br />berwenang menetapkan besarnya upah lembur adalah pengawas ketenagakerjaan<br />Kabupaten/Kota.<br />(2) Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima penetapan pengawas ketenagakerjaan<br />sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka dapat meminta penetapan ulang kepada<br />pengawas ketenagakerjaan di Provinsi.<br />(3) Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur pada<br />perusahaan yang meliputi lebih dari 1 (satu) Kabupaten/Kota dalam 1(satu) Provinsi<br />yang sama, maka yang berwenang menetapkan besarnya upah lembur adalah pengawas<br />ketenagakerjaan Provinsi.<br />(4) Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima penetapan pengawas ketenagakerjaan<br />sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat meminta penetapan ulang<br />kepada pengawas ketenagakerjaan di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.<br /><br />Pasal 14<br />Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur pada perusahaan<br />yang meliputi lebih dari 1 (satu) Provinsi, maka yang berwenang menetapkan besarnya<br />upah lembur adalah Pengawas Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja dan<br />Transmigrasi.<br /><br />Pasal 15<br />Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor:KEP-<br />72/MEN/1984 tentang Dasar Perhitungan Upah Lembur, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor<br />KEP-608/MEN/1989 tentang Pemberian Izin Penyimpangan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat<br />Bagi Perusahaan-perusahaan Yang Mempekerjakan Pekerja 9 (sembilan) Jam Sehari dan 54<br />(lima puluh empat) Jam Seminggu dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia<br />Nomor: PER-06/MEN/1993 tentang waktu kerja 5 (lima) Hari Seminggu dan 8 (delapan) Jam<br />Sehari, dinyatakan tidak berlaku lagi.<br /><br />Pasal 16<br />Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.<br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 25 Juni 2004<br /><br /><br />MENTERI<br />TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI<br />REPUBLIK INDONESIA<br /><br />JACOB NUWA WEAAmier_spirithttp://www.blogger.com/profile/11504901989410780993noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4609614602075078511.post-74663608811326710702010-01-27T22:10:00.000-08:002010-01-27T22:37:27.757-08:00Jadwal maintestAmier_spirithttp://www.blogger.com/profile/11504901989410780993noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4609614602075078511.post-70559977736252282352010-01-27T22:07:00.000-08:002010-01-27T22:08:39.964-08:00scan virusscan virusAmier_spirithttp://www.blogger.com/profile/11504901989410780993noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4609614602075078511.post-57521296874121950462010-01-27T22:05:00.000-08:002010-01-30T23:12:49.838-08:00Pemancar tv vhf & uhf<br />mohon maaf nelum saya isi karena masih dalam tahap menggambar skemaAmier_spirithttp://www.blogger.com/profile/11504901989410780993noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4609614602075078511.post-36013165178083286082010-01-27T02:58:00.000-08:002010-01-27T22:03:58.861-08:00UU no 2 tahun 2004<strong>UNDANG-UNDANG NO 2 TAHUN 2004<br />TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL</strong><br /><br /><br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br />Menimbang :<br /><br />a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila;<br />b. bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah;<br />c. bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat;<br />d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, dan c perlu ditetapkan undang-undang yang mengatur tentang Penyelesaian Perselisihan<br />Hubungan Industrial;<br /><br /><br /><br />Mengingat :<br /><br />1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;<br />2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan ketentuan Pokok<br />Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970<br />Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);<br />3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);<br /> <br />4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327)<br />5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh<br />(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan<br />Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);<br />6. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);<br /><br /><br /><br /><br />Dengan persetujuan bersama antara<br /><br />DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan :<br /><br />UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL.<br /><br /><br /><br />BAB I KETENTUAN UMUM<br />Pasal 1<br /><br />Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :<br /><br />1. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.<br />2. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.<br />3. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau<br /> <br />perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.<br />4. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.<br />5. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.<br />6. Pengusaha adalah:<br />a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;<br />b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;<br />c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.<br />7. Perusahaan adalah:<br />a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;<br />b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.<br />8. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.<br />9. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.<br /> <br />10. Perundingan bipartit adalah<br />pekerja/serikat buruh dengan<br />hubungan industrial.<br /> <br />atau serikat<br />perselisihan<br /> <br />11. Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.<br />12. Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak,<br /> <br />perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.<br />13. Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.<br />14. Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.<br />15. Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.<br />16. Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.<br />17. Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.<br />18. Hakim adalah Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasi pada Pengadilan<br />Hubungan Industrial.<br />19. Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi.<br />20. Hakim Kasasi adalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.<br />21. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.<br /><br />Pasal 2<br /><br />Jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi:<br />a. perselisihan hak;<br />b. perselisihan kepentingan;<br />c. perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan<br />d. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.<br /> <br />BAB II TATA CARA<br />PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL<br /><br />Bagian Kesatu<br />Penyelesaian Melalui Bipartit<br /><br />Pasal 3<br /><br />1. Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.<br />2. Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.<br />3. Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.<br /><br />Pasal 4<br /><br />1. Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat<br />(3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.<br />2. Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.<br />3. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.<br />4. Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.<br />5. Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.<br />6. Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.<br /> <br />Pasal 5<br /><br />Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.<br /><br />Pasal 6<br /><br />1. Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak.<br />2. Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:<br />a. nama lengkap dan alamat para pihak;<br />b. tanggal dan tempat perundingan;<br />c. pokok masalah atau alasan perselisihan;<br />d. pendapat para pihak;<br />e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan<br />f. tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan.<br /><br />Pasal 7<br /><br />1. Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak.<br />2. Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.<br />3. Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.<br />4. Perjanjian Bersama yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.<br />5. Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.<br />6. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.<br /> <br />Bagian Kedua<br />Penyelesaian Melalui Mediasi<br /><br />Pasal 8<br /><br />Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.<br /><br /><br />Pasal 9<br /><br />Mediator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi syarat sebagai berikut:<br /><br />a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;<br />b. warga negara Indonesia;<br />c. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;<br />d. menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;<br />e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;<br />f. berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan g. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.<br /><br />Pasal 10<br /><br />Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.<br /><br />Pasal 11<br /><br />1. Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangannya.<br />2. Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri.<br /><br />Pasal 12<br /><br />1. Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat- surat yang diperlukan.<br />2. Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />3. Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).<br /> <br />Pasal 13<br /><br />1. Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.<br />2. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka:<br />a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;<br />b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;<br />c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;<br />d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;<br />e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.<br />3. Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut:<br />a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama;<br />b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.<br />c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.<br /> <br />Pasal 14<br /><br />1. Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.<br />2. Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.<br /><br />Pasal 15<br /><br />Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).<br /><br />Pasal 16<br /><br />Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator serta tata kerja mediasi diatur dengan Keputusan Menteri.<br /><br /><br /><br /><br />Bagian Ketiga<br />Penyelesaian Melalui Konsiliasi<br /><br />Pasal 17<br /><br />Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.<br /><br />Pasal 18<br /><br />1. Penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.<br />2. Penyelesaian oleh konsiliator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak.<br />3. Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.<br /> <br />Pasal 19<br /><br /><br />1. Konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, harus memenuhi syarat:<br />a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;<br />b. warga negara Indonesia;<br />c. berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;<br />d. pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S.1);<br />e. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;<br />f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;<br />g. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya<br />5 (lima) tahun;<br />h. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan; dan<br />i. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.<br />2. Konsiliator yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberi legitimasi oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.<br /><br /><br />Pasal 20<br /><br />Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama.<br /><br />Pasal 21<br /><br />1. Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya.<br />2. Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri.<br /><br />Pasal 22<br /><br />1. Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat- surat yang diperlukan.<br />2. Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh konsiliator terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />3. Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).<br /> <br />Pasal 23<br /><br />1. Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.<br />2. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka:<br />a. konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;<br />b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;<br />c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;<br />d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;<br />e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka, dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.<br />3. Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut:<br />a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama;<br />b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama di daftar untuk mendapat penetapan eksekusi;<br />c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.<br /> <br />Pasal 24<br /><br />1. Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri setempat<br />2. Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.<br /><br />Pasal 25<br /><br />Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)<br />hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan.<br /><br />Pasal 26<br /><br />1. Konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan penyelesaian perselisihan yang dibebankan kepada negara.<br />2. Besarnya honorarium/imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)<br />ditetapkan oleh Menteri.<br /><br />Pasal 27<br /><br />Kinerja konsiliator dalam satu periode tertentu dipantau dan dinilai oleh Menteri atau<br />Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.<br /><br />Pasal 28<br /><br />Tata cara pendaftaran calon, pengangkatan, dan pencabutan legitimasi konsiliator serta tata kerja konsiliasi diatur dengan Keputusan Menteri.<br /><br />Bagian Keempat<br />Penyelesaian Melalui Arbitrase<br /><br />Pasal 29<br /><br />Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.<br /><br />Pasal 30<br /><br />1. Arbiter yang berwenang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial harus arbiter yang telah ditetapkan oleh Menteri.<br />2. Wilayah kerja arbiter meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.<br /> <br />Pasal 31<br /><br />1. Untuk dapat ditetapkan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30<br />ayat (1) harus memenuhi syarat:<br />a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;<br />b. cakap melakukan tindakan hukum;<br />c. warga negara Indonesia;<br />d. pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);<br />e. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;<br />f. berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter;<br />g. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase; dan<br />h. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya<br />5 (lima) tahun.<br />2. Ketentuan mengenai pengujian dan tata cara pendaftaran arbiter diatur dengan<br />Keputusan Menteri.<br /><br />Pasal 32<br /><br />1. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih.<br />2. Kesepakatan para pihak yang berselisih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga) dan masing-masing pihak mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.<br />3. Surat perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sekurang- kurangnya memuat:<br />a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;<br />b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;<br />c. jumlah arbiter yang disepakati;<br />d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase; dan<br />e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih.<br /><br />Pasal 33<br /><br />1. Dalam hal para pihak telah menandatangani surat perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) para pihak berhak memilih arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.<br />2. Para pihak yang berselisih dapat menunjuk arbiter tunggal atau beberapa arbiter<br />(majelis) dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang.<br /> <br />3. Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal, maka para pihak harus sudah mencapai kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja tentang nama arbiter dimaksud.<br />4. Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sedangkan arbiter ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase.<br />5. Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dilakukan secara tertulis.<br />6. Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk menunjuk arbiter baik tunggal maupun beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebagaimana dimaksud dalam ayat<br />(2), maka atas permohonan salah satu pihak Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.<br />7. Seorang arbiter yang diminta oleh para pihak, wajib memberitahukan kepada para pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan.<br />8. Seseorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) harus memberitahukan kepada para pihak mengenai penerimaan penunjukannya secara tertulis.<br /><br />Pasal 34<br /><br />1. Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (8)<br />membuat perjanjian penunjukan arbiter dengan para pihak yang berselisih.<br />2. Perjanjian penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang- kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:<br />a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih dan arbiter;<br />b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil keputusan;<br />c. biaya arbitrase dan honorarium arbiter;<br />d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase;<br />e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih dan arbiter;<br />f. pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya; dan<br />g. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih.<br />3. Perjanjian arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya dibuat rangkap 3 (tiga), masing-masing pihak dan arbiter mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.<br />4. Dalam hal arbitrase dilakukan oleh beberapa arbiter, maka asli dari perjanjian tersebut diberikan kepada Ketua Majelis Arbiter.<br /> <br />Pasal 35<br /><br />1. Dalam hal arbiter telah menerima penunjukan dan menandatangani surat perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), maka yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak.<br />2. Arbiter yang akan menarik diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak.<br />3. Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka yang bersangkutan dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dalam penyelesaian kasus tersebut.<br />4. Dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapat persetujuan para pihak, arbiter harus mengajukan permohonan pada Pengadilan Hubungan Industrial untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengan mengajukan alasan yang dapat diterima.<br /><br />Pasal 36<br /><br />1. Dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka para pihak harus menunjuk arbiter pengganti yang disepakati oleh kedua belah pihak.<br />2. Dalam hal arbiter yang dipilih oleh para pihak mengundurkan diri, atau meninggal dunia, maka penunjukan arbiter pengganti diserahkan kepada pihak yang memilih arbiter.<br />3. Dalam hal arbiter ketiga yang dipilih oleh para arbiter mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka para arbiter harus menunjuk arbiter pengganti berdasarkan kesepakatan para arbiter.<br />4. Para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) harus sudah mencapai kesepakatan menunjuk arbiter pengganti dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja.<br />5. Apabila para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka para pihak atau salah satu pihak atau salah satu arbiter atau para arbiter dapat meminta kepada Pengadilan Hubungan Industrial untuk menetapkan arbiter pengganti dan Pengadilan harus menetapkan arbiter pengganti dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan penggantian arbiter.<br /><br />Pasal 37<br /><br />Arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus membuat pernyataan kesediaan menerima hasil-hasil yang telah dicapai dan melanjutkan penyelesaian perkara.<br /><br />Pasal 38<br /><br />1. Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian arbitrase dapat diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri apabila cukup alasan dan<br /> <br />cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan.<br />2. Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula diajukan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya.<br />3. Putusan Pengadilan Negeri mengenai tuntutan ingkar tidak dapat diajukan perlawanan.<br /><br />Pasal 39<br /><br />1. Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan ditujukan kepada Ketua Pengadilan yang bersangkutan.<br />2. Hak ingkar terhadap arbiter tunggal yang disepakati diajukan kepada arbiter yang bersangkutan.<br />3. Hak ingkar terhadap anggota majelis arbiter yang disepakati diajukan kepada<br />majelis arbiter yang bersangkutan.<br /><br />Pasal 40<br /><br />1. Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter.<br />2. Pemeriksaan atas perselisihan harus dimulai dalam waktu selambat-lambatnya 3<br />(tiga) hari kerja setelah penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter.<br />3. Atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang jangka waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial 1 (satu) kali perpanjangan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja.<br /><br />Pasal 41<br /><br />Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain.<br /><br />Pasal 42<br /><br />Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus.<br /><br />Pasal 43<br /><br />1. Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut, maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai.<br />2. Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah<br /> <br />dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya.<br />3. Dalam hal terdapat biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan perjanjian penunjukan arbiter sebelum perjanjian tersebut dibatalkan oleh arbiter atau majelis arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), biaya tersebut tidak dapat diminta kembali oleh para pihak.<br /><br />Pasal 44<br /><br />1. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih.<br />2. Apabila perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis arbiter.<br />3. Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian.<br />4. Pendaftaran Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan sebagai berikut:<br />a. Akta Perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Akta Perdamaian;<br />b. apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Akta Perdamaian didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;<br />c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Akta Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.<br /><br />5. Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gagal, arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase.<br /><br />Pasal 45<br /><br />1. Dalam persidangan arbitrase para pihak diberi kesempatan untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbiter.<br />2. Arbiter atau majelis arbiter berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbiter.<br /> <br />Pasal 46<br /><br />1. Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih untuk didengar keterangannya.<br />2. Sebelum memberikan keterangan para saksi atau saksi ahli wajib mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.<br />3. Biaya pemanggilan dan perjalanan rohaniawan untuk melaksanakan pengambilan sumpah atau janji terhadap saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta.<br />4. Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta.<br />5. Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli yang diminta oleh arbiter dibebankan kepada para pihak.<br /><br />Pasal 47<br /><br />1. Barang siapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau majelis arbiter guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.<br />2. Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh arbiter terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />3. Arbiter wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).<br /><br />Pasal 48<br /><br />Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter.<br /><br />Pasal 49<br /><br />Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum.<br /><br />Pasal 50<br /><br />1. Putusan arbitrase memuat: a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";b. nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;c. nama lengkap dan alamat para pihak;d.<br />hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para pihak yang berselisih;e. ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para pihak yang berselisih;f. pertimbangan yang menjadi dasar putusan; g. pokok putusan;h. tempat dan tanggal putusan;i. mulai berlakunya putusan; dan j.<br />tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.<br /> <br />2. Tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan.<br />3. Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)<br />harus dicantumkan dalam putusan.<br />4. Dalam putusan, ditetapkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja harus sudah dilaksanakan.<br /><br />Pasal 51<br /><br />1. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap.<br />2. Putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan.<br />3. Dalam hal putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan.<br />4. Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus diberikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri setempat dengan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.<br /><br />Pasal 52<br /><br />1. Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila putusan diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:<br />a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;<br />b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;<br />c. putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;<br />d. putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau<br />e. putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.<br />2. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.<br />3. Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permohonan pembatalan.<br /> <br />Pasal 53<br /><br />Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.<br /><br />Pasal 54<br /><br />Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut.<br /><br />BAB III<br />PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL<br /><br />Bagian Kesatu<br />U m u m<br /><br />Pasal 55<br /><br />Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum.<br /><br />Pasal 56<br /><br />Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:<br /><br />a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;<br />b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;<br />c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;<br />d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.<br /><br />Pasal 57<br /><br />Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini.<br /><br />Pasal 58<br /><br />Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).<br /> <br />Pasal 59<br /><br />a. Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan.<br />b. Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan Keputusan Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.<br /><br />Pasal 60<br /><br />(1) Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari:<br />a. Hakim;<br />b. Hakim Ad-Hoc;<br />c. Panitera Muda; dan d. Panitera Pengganti.<br />(2) Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung terdiri dari:<br />a. Hakim Agung;<br />b. Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan c. Panitera.<br /><br />Bagian Kedua<br />Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Hakim Kasasi<br /><br />Pasal 61<br /><br />Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.<br /><br />Pasal 62<br /><br />Pengangkatan Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /><br />Pasal 63<br /><br />1. Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan Keputusan<br />Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.<br />2. Calon Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh Menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha.<br />3. Ketua Mahkamah Agung mengusulkan pemberhentian Hakim Ad-Hoc Hubungan<br />Industrial kepada Presiden.<br /> <br />Pasal 64<br /><br />Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan<br />Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung, harus memenuhi syarat sebagai berikut:<br /><br />a. warga negara Indonesia;<br /><br />b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;<br /><br />c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia<br />Tahun 1945;<br /><br />d. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;<br /><br />e. berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter;<br /><br />f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;<br /><br />g. berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S.1) kecuali bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan sarjana hukum; dan<br /><br />h. berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 tahun.<br /><br />Pasal 65<br /><br />1. Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya, bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut:<br />“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga.<br />Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.<br />Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.<br />Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membedakan orang dan akan melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”<br />2. Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri atau pejabat yang ditunjuk.<br /> <br />Pasal 66<br /><br />1. Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai:<br />a. anggota Lembaga Tinggi Negara;<br />b. kepala daerah/kepala wilayah;<br />c. lembaga legislatif tingkat daerah;<br />d. pegawai negeri sipil;<br />e. anggota TNI/Polri;<br />f. pengurus partai politik;<br />g. pengacara; h. mediator; i. konsiliator j. arbiter; atau<br />k. pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi pengusaha.<br />2. Dalam hal seorang Hakim Ad-Hoc yang merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jabatannya sebagai Hakim Ad-Hoc dapat dibatalkan.<br /><br />Pasal 67<br /><br />1. Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:<br />a. meninggal dunia;<br />b. permintaan sendiri;<br />c. sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 12 (dua belas) bulan;<br />d. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung;<br />e. tidak cakap dalam menjalankan tugas;<br />f. atas permintaan organisasi pengusaha atau organisasi pekerja/organisasi buruh yang mengusulkan; atau<br />g. telah selesai masa tugasnya.<br />2. Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.<br /><br />Pasal 68<br /><br />1. Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan:<br />a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; <br />b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu) bulan<br />melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaanya tanpa alasan yang sah; atau<br />c. melanggar sumpah atau janji jabatan.<br /> <br />2. Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan kepada Mahkamah Agung.<br /><br />Pasal 69<br /><br />1. Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.<br />2. Hakim Ad-Hoc yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat<br />(1), berlaku pula ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2).<br /><br />Pasal 70<br /><br />1. Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia.<br />2. Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5 (lima) orang dari unsur serikat pekerja/serikat buruh dan 5 (lima) orang dari unsur organisasi pengusaha.<br /><br />Pasal 71<br /><br />1. Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sesuai dengan kewenangannya.<br />2. Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim Kasasi, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya.<br />3. Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim dan Hakim Ad-Hoc.<br />4. Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Mahkamah Agung dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim Kasasi.<br />5. Petunjuk dan teguran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Hakim Kasasi Pengadilan Hubungan Industrial dalam memeriksa dan memutus perselisihan.<br /><br />Pasal 72<br /><br />Tata cara pengangkatan, pemberhentian dengan hormat, pemberhentian dengan tidak hormat, dan pemberhentian sementara Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> <br />Pasal 73<br />Tunjangan dan hak-hak lainnya bagi Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diatur dengan Keputusan Presiden.<br /><br />Bagian Ketiga<br />Sub Kepaniteraan dan Panitera Pengganti<br /><br />Pasal 74<br /><br />1. Pada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial yang dipimpin oleh seorang Panitera Muda.<br />2. Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Muda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibantu oleh beberapa orang Panitera Pengganti.<br /><br />Pasal 75<br /><br />1. Sub Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) mempunyai tugas:<br />a. menyelenggarakan administrasi Pengadilan Hubungan Industrial; dan<br />b. membuat daftar semua perselisihan yang diterima dalam buku perkara.<br />2. Buku perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b sekurang- kurangnya memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak, dan jenis perselisihan.<br /><br />Pasal 76<br /><br />Sub Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian surat panggilan sidang, penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan putusan.<br /><br />Pasal 77<br /><br />1. Untuk pertama kali Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dari instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.<br />2. Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan, dan pemberhentian Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial diatur lebih lanjut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /><br />Pasal 78<br /><br />Susunan organisasi, tugas, dan tata kerja Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan<br />Industrial diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.<br /> <br />Pasal 79<br /><br />1. Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam Berita Acara.<br />2. Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Panitera Pengganti.<br /><br />Pasal 80<br />1. Panitera Muda bertanggung jawab atas buku perkara dan surat-surat lainnya yang disimpan di Sub Kepaniteraan.<br />2. Semua buku perkara dan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) baik asli maupun foto copy tidak boleh dibawa keluar ruang kerja Sub Kepaniteraan kecuali atas izin Panitera Muda.<br /><br /><br /><br />BAB IV PENYELESAIAN PERSELISIHAN<br />MELALUI<br />PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL<br /><br />Bagian Kesatu<br />Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim<br /><br />Paragraf 1<br />Pengajuan Gugatan<br /><br />Pasal 81<br /><br />Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.<br /><br />Pasal 82<br /><br />Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.<br /><br />Pasal 83<br /><br />1. Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada pengugat.<br />2. Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta pengugat untuk menyempurnakan gugatannya.<br /> <br />Pasal 84<br /><br />Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif dengan memberikan kuasa khusus.<br /><br />Pasal 85<br /><br />1. Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban.<br />2. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial hanya apabila disetujui tergugat.<br /><br />Pasal 86<br /><br />Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan.<br /><br />Pasal 87<br /><br />Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya.<br /><br />Pasal 88<br /><br />1. Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad- Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perselisihan.<br />2. Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh serikat pekerja/serikat buruh dan seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).<br />3. Untuk membantu tugas Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)<br />ditunjuk seorang Panitera Pengganti.<br /><br />Paragraf 2<br />Pemeriksaan Dengan Acara Biasa<br /><br />Pasal 89<br />1. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan Majelis<br />Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang pertama.<br />2. Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat tempat tinggalnya atau<br /> <br />apabila tempat tinggalnya tidak diketahui disampaikan di tempat kediaman terakhir.<br />3. Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat tinggal kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala Kelurahan atau Kepala Desa yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang terakhir.<br />4. Penerimaan surat penggilan oleh pihak yang dipanggil sendiri atau melalui orang lain dilakukan dengan tanda penerimaan.<br />5. Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksanya.<br /><br />Pasal 90<br /><br />1. Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di persidangan guna diminta dan didengar keterangannya.<br />2. Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan kesaksiannya di bawah<br />sumpah.<br /><br />Pasal 91<br /><br />1. Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya tanpa syarat, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.<br />2. Dalam hal keterangan yang diminta Majelis Hakim terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />3. Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).<br /><br />Pasal 92<br /><br />Sidang sah apabila dilakukan oleh Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal<br />88 ayat (1).<br /><br />Pasal 93<br /><br />1. Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, Ketua Majelis Hakim menetapkan hari sidang berikutnya.<br />2. Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal penundaan.<br />3. Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau para pihak diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan.<br /> <br />Pasal 94<br /><br />1. Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi.<br />2. Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka Majelis Hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat.<br /><br />Pasal 95<br /><br />1. Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim menetapkan lain.<br />2. Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati tata tertib persidangan.<br />3. Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah Ketua Majelis Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang.<br /><br /><br />Pasal 96<br /><br /><br />1. Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat<br />(3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan.<br />2. Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua.<br />3. Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial.<br />4. Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.<br /><br /><br />Pasal 97<br /><br />Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak atas setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial.<br /> <br />Paragraf 3<br /><br />Pemeriksaan Dengan Acara Cepat<br /><br />Pasal 98<br /><br />1. Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.<br />2. Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.<br />3. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum.<br /><br />Pasal 99<br /><br />1. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2), menentukan majelis hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan.<br />2. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing- masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.<br /><br /><br /><br />Paragraf 4<br />Pengambilan Putusan<br />Pasal 100<br /><br />Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan.<br /><br />Pasal 101<br /><br />1. Putusan Mejelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.<br />2. Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera Pengganti untuk menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir tersebut.<br />3. Putusan Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai putusan<br />Pengadilan Hubungan Industrial.<br />4. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.<br /> <br />Pasal 102<br /><br />1. Putusan Pengadilan harus memuat:<br />a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;<br />b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;<br />c. ringkasan pemohon/penggugat dan jawabatan termohon/tergugat yang jelas;<br />d. pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;<br />e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;<br />f. amar putusan tentang sengketa;<br />g. hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc yang memutus, nama<br />Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.<br />2. Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)<br />dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Hubungan Industrial.<br /><br />Pasal 103<br /><br />Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama.<br /><br />Pasal 104<br /><br />Putusan Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103<br />ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera Pengganti.<br /><br />Pasal 105<br /><br />Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu selambat-lambatnya 7<br />(tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan, harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2).<br /><br />Pasal 106<br /><br />Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani, Panitera<br />Muda harus sudah menerbitkan salinan putusan.<br /><br />Pasal 107<br /><br />Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan putusan kepada para pihak.<br /> <br />Pasal 108<br /><br /><br />Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi.<br /><br />Pasal 109<br /><br />Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.<br /><br />Pasal 110<br /><br />Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja:<br /><br />a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan di bacakan dalam sidang majelis hakim;<br />b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.<br /><br />Pasal 111<br /><br />Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.<br /><br />Pasal 112<br /><br />Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi harus sudah menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah Agung.<br />Bagian Kedua<br />Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim Kasasi<br /><br />Pasal 113<br /><br />Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang Hakim Ad- Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hubungan industrial pada Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.<br /> <br />Pasal 114<br /><br />Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /><br />Pasal 115<br /><br />Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.<br /><br />BAB V<br />SANKSI ADMINISTRASI DAN KETENTUAN PIDANA Bagian Kesatu<br />Sanksi Administratif<br /><br />Pasal 116<br /><br />1. Mediator yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja tanpa alasan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat dikenakan sanksi administratif berupa hukuman disiplin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil.<br />2. Panitera Muda yang tidak menerbitkan salinan putusan dalam waktu selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dan Panitera yang tidak mengirimkan salinan kepada para pihak paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /><br />Pasal 117<br /><br />1. Konsiliator yang tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) butir b atau tidak membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf e dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.<br />2. Konsiliator yang telah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator.<br />3. Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.<br />4. Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai konsiliator diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.<br /> <br />Pasal 118<br /><br />Konsiliator dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai konsiliator dalam hal:<br /><br />a. konsiliator telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) sebanyak 3<br />(tiga) kali;<br />b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan; <br />c. menyalahgunakan jabatan; dan atau <br />d. membocorkan keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal<br />22 ayat (3).<br /><br /><br />Pasal 119<br /><br />1. Arbiter yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja dan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) atau tidak membuat berita acara kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.<br />2. Arbiter yang telah mendapat teguran tertulis 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai arbiter.<br />3. Sanksi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.<br />4. Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai arbiter diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.<br /><br />Pasal 120<br /><br />1. Arbiter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter dalam hal:<br />a. arbiter paling sedikit telah 3 (tiga) kali mengambil keputusan arbitrase perselisihan hubungan industrial melampaui kekuasaannya, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf d dan e dan Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas putusan-putusan arbiter tersebut;<br />b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan; <br />c. menyalahgunakan jabatan; <br />d. arbiter telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara<br />sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) sebanyak<br />3 (tiga) kali.<br /> <br />2. Sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal arbiter menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.<br /><br />Pasal 121<br /><br />1. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal 118, Pasal<br />119 dan Pasal 120 dijatuhkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.<br />2. Tata cara pemberian dan pencabutan sanksi akan diatur lebih lanjut dengan<br />Keputusan Menteri.<br /><br />Bagian Kedua<br />Ketentuan Pidana<br /><br />Pasal 122<br /><br />1. Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 90 ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).<br />2. Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.<br /><br />BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN<br />Pasal 123<br /><br />Dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial pada usaha-usaha sosial dan usaha- usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah, maka perselisihannya diselesaikan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.<br /><br />BAB VII KETENTUAN PERALIHAN<br />Pasal 124<br /><br />1. Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /> <br />2. Dengan terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan undang- undang ini, perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja yang telah diajukan kepada:<br />a. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembaga- lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat;<br />b. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembaga-lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;<br />c. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau lembaga- lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;<br />d. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau lembaga-lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf c yang ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;<br /><br />BAB VIII KETENTUAN PENUTUP<br />Pasal 125<br /><br />1. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka:<br />a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan<br />b. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686);<br />dinyatakan tidak berlaku lagi.<br />2. Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang- undangan yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 22<br />Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227) dan Undang- undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.<br /> <br />Pasal 126<br /><br />Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan.<br /><br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.<br /><br />Disahkan di Jakarta<br /><br />pada tanggal 14 januari 2004<br /><br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.<br />MEGAWATI SOEKARNOPUTRI<br /><br />Diundangkan di Jakarta pada tanggal SEKRETARIS NEGARA<br />REPUBLIK INDONESIA,<br /><br />Ttd<br /><br />BAMBANG KESOWO<br /><br />LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 6<br /><br />Salinan sesuai dengan aslinya<br /><br />Deputi Sekretaris Kabinet<br /><br />Bidang Hukum dan Perundang-undangan, ttd/cap<br />Lambock V. Nahattands<br /> <br />PENJELASAN<br /><br />UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004<br />TENTANG<br /><br />PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL<br /><br />I. UMUM<br /><br />Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak.<br /><br />Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan.<br /><br />Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja yang selama ini diatur di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja<br />di Perusahaan Swasta, ternyata tidak efektif lagi untuk mencegah serta menanggulangi kasus-kasus pemutusan hubungan kerja. Hal ini disebabkan karena hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja.<br /><br />Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut, maka sulit bagi para pihak untuk tetap mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh karena itu perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian, sehingga Pengadilan Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang-undang ini akan dapat menyelesaikan kasus-kasus pemutusan hubungan kerja yang tidak diterima oleh salah satu pihak.<br /><br />Sejalan dengan era keterbukaan dan demokratisasi dalam dunia industri yang diwujudkan dengan adanya kebebasan untuk berserikat bagi pekerja/buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan tidak dapat dibatasi. Persaingan diantara serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan ini dapat mengakibatkan perselisihan di antara serikat pekerja/serikat buruh yang pada umumnya berkaitan dengan masalah keanggotaan dan keterwakilan di dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama.<br /> <br />Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial selama ini ternyata belum mewujudkan penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah.<br /><br />Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial dirasa tidak dapat lagi mengakomodasi perkembangan-perkembangan yang terjadi, karena hak-hak pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial.<br /><br />Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanya mengatur penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif, sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja/buruh secara perseorangan belum terakomodasi.<br /><br />Hal lainnya yang sangat mendasar adalah dengan ditetapkannya putusan P4P sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam Undang- undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan adanya ketentuan ini, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh pihak pekerja/buruh maupun oleh pengusaha untuk mencari keadilan menjadi semakin panjang.<br /><br />Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian bipartit ini dilakukan melalui musyawarah mufakat oleh para pihak tanpa dicampuri oleh pihak manapun.<br /><br />Namun demikian pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan pengusaha, berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut. Upaya fasilitasi dilakukan dengan menyediakan tenaga mediator yang bertugas untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih.<br /><br />Dengan adanya era demokratisasi di segala bidang, maka perlu diakomodasi keterlibatan masyarakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi atau arbitrase.<br /><br />Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena itu arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam undang-undang ini merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial.<br />Dengan pertimbangan-pertimbangan dimaksud di atas, undang-undang ini mengatur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh :<br /> <br />a. perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;<br />b. kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;<br />c. pengakhiran hubungan kerja;<br />d. perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan.<br /><br />Dengan cakupan materi perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksud di atas, maka undang-undang ini memuat pokok-pokok sebagai berikut :<br />1. Pengaturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi baik di perusahaan swasta maupun perusahaan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara.<br />2. Pihak yang berperkara adalah pekerja/buruh secara perseorangan maupun organisasi serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau organisasi pengusaha. Pihak yang berperkara dapat juga terjadi antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam satu perusahaan.<br />3. Setiap perselisihan hubungan industrial pada awalnya diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat oleh para pihak yang berselisih (bipartit).<br />4. Dalam hal perundingan oleh para pihak yang berselisih (bipartit) gagal, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.<br />5. Perselisihan kepentingan, Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja atau Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat diselesaikan melalui konsiliasi atas kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan penyelesaian perselisihan melalui abitrase atas kesepakan kedua belah pihak hanya perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Apabila tidak ada kesepakatan kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihannya melalui konsiliasi atau arbitrase, maka sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu melalui mediasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari menumpuknya perkara perselisihan hubungan industrial di pengadilan.<br />6. Perselisihan Hak yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab<br />di bidang ketenagakerjaan tidak dapat diselesaikan melalui konsiliasi atau arbitrase namun sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu melalui mediasi.<br />7. Dalam hal Mediasi atau Konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.<br /> <br />8. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui arbitrase dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial karena putusan arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat diajukan pembatalan ke Mahkamah Agung.<br />9. Pengadilan Hubungan Industrial berada pada lingkungan peradilan umum dan dibentuk pada Pengadilan Negeri secara bertahap dan pada Mahkamah Agung.<br />10. Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan murah, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang berada pada lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Sedangkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat di mintakan kasasi ke Mahkamah Agung.<br />11. Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan hubungan industrial dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang beranggotakan 3 (tiga) orang, yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/organisasi buruh.<br />12. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.<br />13. Untuk menegakkan hukum ditetapkan sanksi sehingga dapat merupakan alat paksa yang lebih kuat agar ketentuan undang-undang ini ditaati.<br /><br />II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1<br />Angka 1 s.d 21<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 2<br /><br />Huruf a<br /> <br />Perselisihan hak adalah perselisihan mengenai hak normatif, yang sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan.<br /><br />Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 3<br />Ayat (1)<br /><br />Yang dimaksud perundingan bipartit dalam pasal ini adalah perundingan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh atau antara serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang lain dalam satu perusahaan yang berselisih.<br /><br />Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 4<br />Ayat (1)<br /><br />Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)<br /> <br />Ketentuan dalam pasal ini memberikan kebebasan bagi pihak yang berselisih untuk secara bebas memilih cara penyelesaian perselisihan yang mereka kehendaki.<br /><br />Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 5<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 6<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 7<br /><br />Cukup jelas<br /><br />Pasal 8<br /><br />Cukup jelas<br /><br />Pasal 9<br /><br />Oleh karena mediator adalah seorang pegawai negeri sipil, maka selain syarat-syarat yang ada dalam pasal ini harus dipertimbangkan pula ketentuan yang mengatur tentang pegawai negeri sipil pada umumnya.<br /><br />Pasal 10<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 11<br /><br />Ayat (1)<br /> <br />Saksi ahli yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah seseorang yang mempunyai keahlian khusus di bidangnya termasuk Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.<br /><br />Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12<br />Ayat (1)<br /><br />Yang dimaksudkan dengan membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat dalam pasal ini adalah antara lain buku tentang upah atau surat perintah lembur dan lain-lain yang dilakukan oleh orang yang ditunjuk mediator.<br /><br />Ayat (2)<br /><br />Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti prosedur yang ditentukan.<br /><br />Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang rekening milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat bank apabila telah ada ijin dari Bank Indonesia atau dari pemilik rekening yang bersangkutan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian pula ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan dan lain-lain.<br /><br />Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 13<br />Ayat (1)<br /><br />Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a<br />Yang dimaksudkan dengan anjuran tertulis adalah pendapat atau saran tertulis yang diusulkan oleh mediator kepada para pihak dalam upaya menyelesaikan perselisihan<br />mereka.<br /><br />Huruf b<br /> <br />Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14<br />Ayat (1)<br /><br />Cukup jelas. Ayat (2)<br />Ketentuan mengenai pengajuan gugatan yang diatur dalam ayat ini sesuai dengan tatacara<br />penyelesaian perkara perdata pada peradilan umum.<br /><br />Pasal 15<br /><br />Cukup jelas<br /><br />Pasal 16<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 17<br /><br />Cukup Jelas.<br /><br />Pasal 18<br /><br />Cukup Jelas.<br /><br />Pasal 19<br /> <br />Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i<br />Yang dimaksud dengan syarat lain dalam huruf i ini adalah antara lain : pengaturan tentang standar kompetensi konsiliator, pelatihan calon atau konsiliator, seleksi bagi<br />calon konsiliator, dan masalah teknis lainnya.<br /><br />Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 20<br /> <br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 21<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 22<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Yang dimaksudkan dengan membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat dalam pasal ini adalah antara lain buku tentang upah atau surat perintah lembur dan lain-lain yang dilakukan oleh orang yang ditunjuk konsiliator.<br /><br />Ayat (2)<br /><br />Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti prosedur yang ditentukan.<br /><br />Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang rekening milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat bank apabila telah ada ijin dari Bank Indonesia atau dari pemilik rekening yang bersangkutan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian pula ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan dan lain-lain.<br /><br />Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 24<br /> <br />Cukup jelas. Pasal 25<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 26<br /><br />Cukup jelas. Pasal 27<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 28<br /><br />Cukup jelas. Pasal 29<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 30<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Penetapan dalam pasal ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat, oleh karena itu tidak setiap orang dapat bertindak sebagai arbiter.<br /><br />Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 31<br />Ayat (1)<br /><br />Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c<br /> <br />Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g<br />Mengingat keputusan arbiter ini mengikat para pihak dan bersifat akhir dan tetap, arbiter haruslah mereka yang kompeten di bidangnya, sehingga kepercayaan para pihak tidak<br />sia-sia.<br /><br />Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 32<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 33<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 34<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 35<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 36<br /> <br />Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5)<br />Arbiter yang ditetapkan Pengadilan tidak boleh arbiter yang telah pernah ditolak oleh para pihak atau para arbiter tetapi harus arbiter lain.<br /><br />Pasal 37<br /><br />Yang dimaksud dengan menerima hasil-hasil yang telah dicapai bahwa arbiter pengganti terikat pada hasil arbiter yang digantikan yang tercermin dalam risalah kegiatan penyelesaian perselisihan.<br /><br />Pasal 38<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 39<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 40<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Dalam hal terjadi penggantian arbiter maka jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja dihitung sejak arbiter pengganti menandatangani perjanjian arbitrase.<br /><br />Ayat (2) Cukup jelas.<br /> <br />Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 41<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 42<br /><br />Yang dimaksud surat kuasa khusus dalam pasal ini adalah kuasa yang diberikan oleh pihak yang berselisih sebagai pemberi kuasa kepada seseorang atau lebih selaku kuasanya untuk mewakili pemberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum dan tindakan lainnya yang berkaitan dengan perkaranya yang dicantumkan secara khusus dalam surat kuasa.<br /><br />Pasal 43<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Yang dimaksud dengan “dipanggil secara patut” dalam ayat ini yaitu para pihak telah dipanggil berturut-turut sebanyak 3 (tiga) kali, setiap panggilan masing-masing dalam waktu 3 (tiga) hari.<br /><br />Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 44<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 45<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 46<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 47<br /> <br />Ayat (1)<br /><br />Yang dimaksud dengan membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat dalam pasal<br />ini adalah, misalnya buku tentang upah atau surat perintah lembur dan dilakukan oleh orang yang ahli soal pembukuan yang ditunjuk oleh arbiter.<br /><br />Ayat (2)<br /><br />Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti prosedur yang ditentukan.<br /><br />Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang rekening milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat bank apabila telah ada ijin dari Bank Indonesia atau dari pemilik rekening yang bersangkutan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian pula ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan dan lain-lain.<br /><br />Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 48<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 49<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 50<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 51<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 52<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Upaya hukum melalui permohonan pembatalan dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pihak berselisih yang dirugikan.<br /><br />Ayat (2)<br /> <br />Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 53<br />Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum.<br /><br />Pasal 54<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 55<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 56<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 57<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 58<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 59<br /><br />Ayat (1)<br /><br />ƒ Berhubung Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan Ibu Kota Provinsi sekaligus Ibu Kota Negara Republik Indonesia memiliki lebih dari satu Pengadilan Negeri, maka Pengadilan Hubungan Industrial yang dibentuk untuk pertama kali dengan undang-undang ini adalah Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.<br />ƒ Dalam hal di ibukota provinsi terdapat Pengadilan Negeri Kota dan Pengadilan<br />Negeri Kabupaten, maka Pengadilan Hubungan Industrial menjadi bagian<br />Pengadilan Negeri Kota. Ayat (2)<br /> <br />Yang dimaksud dengan kata “segera” dalam ayat ini adalah bahwa dalam waktu 6 (enam)<br />bulan sesudah undang-undang ini berlaku.<br /><br />Pasal 60<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 61<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 62<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 63<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 64<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 65<br /><br />Ayat (1)<br /><br />Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-kata tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam “Demi Allah” sebelum lafal sumpah dan untuk penganut agama Kristen/Katholik kata-kata “Kiranya Tuhan akan menolong saya” sesudah lafal sumpah.<br /><br />Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 66<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 67<br /><br />Ayat (1) Huruf a<br /> <br />Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c<br />Yang dimaksud dengan sakit jasmani atau rohani terus menerus adalah sakit yang menyebabkan penderita tidak mampu lagi melakukan tugasnya dengan baik.<br /><br />Huruf d. Cukup jelas. Huruf e.<br />Yang dimaksud dengan tidak cakap menjalankan tugas misalnya sering melakukan kesalahan dalam menjalankan tugas karena kurang mampu.<br /><br />Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 68<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 69<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 70<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 71<br /> <br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 72<br /><br />Cukup jelas. Pasal 73<br />Yang dimaksud tunjangan dan hak-hak lainnya adalah tunjangan jabatan dan hak-hak<br />yang menyangkut kesejahteraan.<br /><br />Pasal 74<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 75<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 76<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 77<br /><br />Cukup jelas. Pasal 78<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 79<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 80<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 81<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 80<br /><br />Cukup jelas.<br /> <br />Pasal 81<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 82<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 83<br /><br />Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)<br />Dalam penyempurnaan gugatan, Panitera atau Panitera Penganti dapat membantu penyusunan/menyempurnakan gugatan. Untuk itu Panitera atau Panitera Pengganti mencatat dalam daftar khusus yang memuat:<br /><br />ƒ nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak;<br />ƒ pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan atau objek gugatan;<br />ƒ dokumen-dokumen, surat-surat dan hal-hal lain yang dianggap<br />perlu oleh penggugat.<br /><br />Pasal 84<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 85<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 86<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 87<br /><br />Yang dimaksud dengan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana yang dimaksud dalam pasal ini meliputi pengurus pada tingkat perusahaan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi dan pusat baik serikat pekerja/serikat buruh, anggota federasi, maupun konfederasi.<br /><br />Pasal 88<br /> <br />Cukup jelas<br /><br />Pasal 89<br /><br />Cukup jelas<br /><br />Pasal 90<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 91<br /><br />Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)<br />Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan harus menjaga kerahasiannya, maka permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud<br />sebagai saksi ahli harus mengikuti prosedur yang ditentukan.<br /><br />Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 92<br />Ketentuan sahnya persidangan dalam pasal ini dimaksudkan setiap sidang harus dihadiri<br />oleh Hakim dan seluruh Hakim Ad-Hoc yang telah ditunjuk untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.<br /><br />Pasal 93<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 94<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 95<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 96<br /> <br />Ayat (1)<br /><br />Permintaan putusan sela disampaikan bersama-sama dengan materi gugatan. Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 97<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 98<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 99<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 100<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 101<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 102<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 103<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 104<br /> <br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 105<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 106<br /><br />Dengan ketentuan ini berarti jangka waktu membuat putusan asli dan salinan putusan dibatasi selama 14 (empat belas) hari kerja agar tidak merugikan hak para pihak.<br /><br />Pasal 107<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 108<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 109<br /><br />Cukup jelas. Pasal 110<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 111<br /><br />Yang dimaksud dengan Pengadilan Negeri setempat dalam pasal ini adalah Pengadilan<br />Negeri yang memutus perkara tersebut.<br /><br />Pasal 112<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 113<br /><br />Cukup jelas<br /><br />Pasal 114<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 115<br /> <br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 116<br /><br />Cukup jelas. Pasal 117<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 118<br /><br />Cukup jelas. Pasal 119<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 120<br /><br />Cukup jelas. Pasal 121<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 122<br /><br />Cukup jelas. Pasal 123<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 124<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 125<br /><br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 126<br /> <br />Tenggang waktu dalam pasal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan penyediaan dan pengangkatan Hakim dan Hakim Ad Hoc, persiapan sarana dan prasarana seperti penyediaan kantor dan ruang sidang Pengadilan Hubungan Industrial.<br /><br />TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4356Amier_spirithttp://www.blogger.com/profile/11504901989410780993noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4609614602075078511.post-56015994054911204542010-01-25T02:49:00.000-08:002010-01-27T22:03:58.861-08:00UU No. 13 Tahun 2003UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 13 TAHUN 2003<br />TENTANG KETENAGAKERJAAN<br /><br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br />Menimbang:<br />a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;<br />b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan;<br />c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;<br />d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan<br />tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha;<br />e. bahwa beberapa Undang-Undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali;<br />f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e perlu membentuk Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan.<br /><br /><br />Mengingat:<br />Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.<br /><br /><br />Dengan Persetujuan Bersama Antara:<br />DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br />MEMUTUSKAN: Menetapkan:<br />UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN<br /><br /><br />BAB I KETENTUAN UMUM<br /><br />Pasal 1<br /><br />Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:<br />1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.<br />2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.<br />3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.<br />4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.<br />5. Pengusaha adalah:<br />a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;<br />b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;<br />c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.<br />6. Perusahaan adalah:<br />a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk<br />lain;<br />b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.<br />7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.<br />8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.<br />9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan<br />atau pekerjaan.<br />10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.<br />11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah<br />bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai<br />keterampilan atau keahlian tertentu.<br />12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.<br />13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.<br />14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.<br />15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.<br /><br /><br />16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku<br />dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.<br />17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.<br />18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.<br />19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.<br />20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.<br />21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara<br />serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak<br />dan kewajiban kedua belah pihak.<br />22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.<br />23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.<br />24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.<br />25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.<br />26. Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.<br />27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.<br />28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.<br />29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.<br />30. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang- undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.<br />31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.<br />32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.<br />33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.<br /><br /><br />BAB II<br /><br />LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN<br /><br /><br />Pasal 2<br />Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara<br />Republik Indonesia Tahun 1945.<br /><br /><br />Pasal 3<br />Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.<br /><br /><br /> <br /><br />Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:<br /> <br />Pasal 4<br /> <br />a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;<br />b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;<br />c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan<br />d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.<br /><br /><br />BAB III<br />KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA<br /><br /><br />Pasal 5<br />Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.<br /><br /><br />Pasal 6<br />Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.<br /><br /><br />BAB IV<br />PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN<br /><br /><br />Pasal 7<br />(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja.<br />(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi:<br />a. perencanaan tenaga kerja makro; dan b. perencanaan tenaga kerja mikro.<br />(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan<br />ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).<br /><br /><br />Pasal 8<br />(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain meliputi:<br />a. penduduk dan tenaga kerja;<br />b. kesempatan kerja;<br />c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;<br />d. produktivitas tenaga kerja;<br />e. hubungan industrial;<br />f. kondisi lingkungan kerja;<br />g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan h. jaminan sosial tenaga kerja.<br />(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh dari semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.<br />(3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan<br />serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /><br /><br />BAB V PELATIHAN KERJA<br /><br />Pasal 9<br />Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan.<br /><br /><br />Pasal 10<br />(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.<br />(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja.<br />(3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.<br />(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.<br /><br /><br />Pasal 11<br />Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja.<br /><br /><br />Pasal 12<br />(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja.<br />(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan Keputusan Menteri.<br />(3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya.<br /><br /><br />Pasal 13<br />(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta.<br />(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.<br />(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.<br /><br /><br />Pasal 14<br />(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau perorangan.<br />(2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.<br />(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.<br />(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.<br /><br /><br />Pasal 15<br />Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan:<br />a. tersedianya tenaga kepelatihan;<br />b. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;<br />c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan<br />d. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja.<br /><br /><br />Pasal 16<br />(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga akreditasi.<br />(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat independen terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri.<br />(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.<br /><br /><br />Pasal 17<br />(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat menghentikan sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila dalam pelaksanaannya ternyata:<br />a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;<br />dan/atau<br />b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.<br />(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama 6<br />(enam) bulan.<br />(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya dikenakan terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15.<br />(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi dan melengkapi saran perbaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi penghentian program pelatihan.<br />(5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara pelatihan.<br />(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan izin, dan pembatalan pendaftaran diatur dengan Keputusan Menteri.<br /><br /><br />Pasal 18<br />(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.<br />(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui<br />sertifikasi kompetensi kerja.<br />(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.<br />(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi profesi yang independen.<br />(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /><br /><br />Pasal 19<br />Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan.<br /><br /><br />Pasal 20<br />(1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, dikembangkan satu sistem pelatihan kerja nasional yang merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor.<br />(2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /><br /><br />Pasal 21<br />Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan.<br /><br /><br />Pasal 22<br />(1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan pengusaha yang dibuat secara tertulis.<br />(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu pemagangan.<br />(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.<br /><br /><br />Pasal 23<br />Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.<br /><br /><br />Pasal 24<br />Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.<br /><br /><br />Pasal 25<br />(1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.<br />(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara pemagangan harus berbentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan<br />yang berlaku.<br />(3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.<br /><br />Pasal 26<br />(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan:<br />a. harkat dan martabat bangsa Indonesia;<br />b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan<br />c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan ibadahnya.<br />(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan di luar wilayah Indonesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).<br /><br /><br />Pasal 27<br />(1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan program pemagangan.<br />(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri harus memperhatikan kepentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.<br /><br /><br />Pasal 28<br />(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta melakukan koordinasi pelatihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga koordinasi pelatihan kerja nasional.<br />(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.<br /><br /><br />Pasal 29<br />(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan.<br />(2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan relevansi, kualitas, dan efisiensi penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas.<br />(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui pengembangan budaya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional.<br /><br /><br />Pasal 30<br />(1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dibentuk lembaga produktivitas yang bersifat nasional.<br />(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbentuk jejaring kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor maupun daerah.<br />(3) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.<br /><br /><br />BAB VI PENEMPATAN TENAGA KERJA<br /><br />Pasal 31<br />Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.<br /><br /><br />Pasal 32<br /><br />(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta<br />adil, dan setara tanpa diskriminasi.<br />(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.<br />(3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah.<br /><br /><br /> <br /><br />Penempatan tenaga kerja terdiri dari:<br /> <br />Pasal 33<br /> <br />a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan b. penempatan tenaga kerja di luar negeri.<br /><br />Pasal 34<br />Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal<br />33 huruf b diatur dengan undang-undang.<br /><br /><br />Pasal 35<br />(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.<br />(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja.<br />(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.<br /><br /><br />Pasal 36<br />(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)<br />dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.<br />(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur:<br />a. pencari kerja;<br />b. lowongan pekerjaan;<br />c. informasi pasar kerja;<br />d. mekanisme antar kerja; dan<br />e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.<br />(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan tenaga kerja.<br /><br /><br />Pasal 37<br />(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari:<br />a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan b. lembaga swasta berbadan hukum.<br />(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b<br />dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari<br />Menteri atau pejabat yang ditunjuk.<br /><br /><br />Pasal 38<br /><br />(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf<br />a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja.<br />(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.<br />(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan<br />Menteri.<br /><br /><br />BAB VII<br />PERLUASAN KESEMPATAN KERJA<br /><br /><br />Pasal 39<br />(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.<br />(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.<br />(3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan untuk mewujudkan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.<br />(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu membantu dan memberikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja.<br /><br /><br />Pasal 40<br />(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna.<br />(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri, penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja.<br /><br /><br />Pasal 41<br />(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan kerja.<br />(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).<br />(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dibentuk badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.<br />(4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /><br /><br />BAB VIII<br />PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING<br /><br /><br />Pasal 42<br />(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari<br />Menteri atau pejabat yang ditunjuk.<br />(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.<br /><br />(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi<br />perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.<br />(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.<br />(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat<br />(4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.<br />(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.<br /><br /><br />Pasal 43<br />(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.<br />(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang- kurangnya memuat keterangan:<br />a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;<br />b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan;<br />c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan<br />d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan.<br />(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.<br />(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing diatur dengan Keputusan Menteri.<br /><br /><br />Pasal 44<br />(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.<br />(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat<br />(1) diatur dengan Keputusan Menteri.<br /><br /><br />Pasal 45<br />(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib:<br />a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan<br />b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing.<br />(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris.<br /><br /><br />Pasal 46<br />(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu.<br />(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan<br />Menteri.<br /><br /><br />Pasal 47<br /><br />(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang<br />dipekerjakannya.<br />(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.<br />(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.<br />(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan Peraturan<br />Pemerintah.<br /><br /><br />Pasal 48<br />Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.<br /><br /><br />Pasal 49<br />Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.<br /><br /><br />BAB IX HUBUNGAN KERJA<br /><br />Pasal 50<br />Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.<br /><br /><br />Pasal 51<br />(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.<br />(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /><br /><br /> <br /><br />(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar:<br /> <br />Pasal 52<br /> <br />a. kesepakatan kedua belah pihak;<br />b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;<br />c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan<br />d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.<br />(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.<br /><br /><br />Pasal 53<br />Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.<br /><br /><br />Pasal 54<br />(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat:<br />a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;<br />b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;<br />c. jabatan atau jenis pekerjaan;<br />d. tempat pekerjaan;<br />e. besarnya upah dan cara pembayarannya;<br />f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;<br />g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;<br />h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan<br />i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.<br />(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya rangkap<br />2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.<br /><br /><br />Pasal 55<br />Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.<br /><br /><br />Pasal 56<br />(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.<br />(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas:<br />a. jangka waktu; atau<br />b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.<br /><br /><br />Pasal 57<br />(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.<br />(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan<br />ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.<br />(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.<br /><br /><br />Pasal 58<br />(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.<br />(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.<br /><br /><br />Pasal 59<br />(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:<br />a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;<br />b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;<br />c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau<br />d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.<br />(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat<br />tetap.<br />(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.<br />(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.<br />(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.<br />(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.<br />(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana<br />dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.<br />(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan<br />Menteri.<br /><br /><br />Pasal 60<br />(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan.<br />(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.<br /><br /><br /> <br /><br />(1) Perjanjian kerja berakhir apabila:<br />a. pekerja meninggal dunia;<br /> <br />Pasal 61<br /> <br />b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;<br />c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau<br />d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.<br />(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.<br />(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.<br />(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.<br />(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak mendapatkan<br />hak haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.<br /><br /><br />Pasal 62<br />Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.<br /><br />Pasal 63<br />(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.<br />(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang kurangnya memuat keterangan:<br />a. nama dan alamat pekerja/buruh;<br />b. tanggal mulai bekerja;<br />c. jenis pekerjaan; dan d. besarnya upah.<br /><br />Pasal 64<br />Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.<br /><br /><br />Pasal 65<br />(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.<br />(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:<br />a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;<br />b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;<br />c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.<br />(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.<br />(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)<br />diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.<br />(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.<br />(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian<br />kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.<br />(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.<br />(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).<br /><br /><br />Pasal 66<br />(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.<br />(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak<br />berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:<br />a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;<br />b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan<br />sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;<br />c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan<br />d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.<br />(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.<br />(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.<br /><br /><br />BAB X<br />PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN<br /><br /><br />Bagian Kesatu<br />Perlindungan<br /><br /><br />Paragraf 1<br />Penyandang Cacat<br /><br /><br />Pasal 67<br />(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.<br />(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /><br /><br />Paragraf 2<br />Anak<br /><br /><br /> <br /><br />Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.<br /> <br />Pasal 68<br /> <br /><br /><br />Pasal 69<br />(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.<br />(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan:<br />a. izin tertulis dari orang tua atau wali;<br />b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;<br />c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;<br />d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;<br />e. keselamatan dan kesehatan kerja;<br />f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan<br />g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.<br />(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.<br /><br /><br />Pasal 70<br />(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.<br />(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun.<br />(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat:<br />a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan<br />b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.<br /><br /><br />Pasal 71<br />(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.<br />(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat:<br />a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;<br />b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan<br />c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.<br />(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.<br /><br /><br />Pasal 72<br />Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.<br /><br /><br />Pasal 73<br />Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.<br /><br /><br />Pasal 74<br />(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk.<br />(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi:<br />a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;<br />b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;<br />c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau;<br />d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.<br />(3) Jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.<br /><br />Pasal 75<br />(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja.<br />(2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan<br />Pemerintah.<br /><br /><br />Paragraf 3<br />Perempuan<br /><br /><br />Pasal 76<br />(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.<br />(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.<br />(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib:<br />a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan<br />b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.<br />(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.<br />(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan<br />Menteri.<br /><br /><br />Paragraf 4<br />Waktu Kerja<br /><br /><br />Pasal 77<br />(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.<br />(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:<br />a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam)<br />hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau<br />b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima)<br />hari kerja dalam 1 (satu) minggu.<br />(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.<br />(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.<br /><br /><br />Pasal 78<br />(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:<br />a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan<br />b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu)<br />hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.<br />(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.<br />(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.<br /><br />(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud<br />dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.<br /><br /><br />Pasal 79<br />(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.<br />(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:<br />a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4<br />(empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;<br />b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau<br />2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;<br />c. cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan<br />d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.<br />(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.<br />(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.<br />(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan<br />Menteri.<br /><br /><br />Pasal 80<br />Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.<br /><br /><br />Pasal 81<br />(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.<br />(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.<br /><br /><br />Pasal 82<br />(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.<br />(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.<br /><br /><br />Pasal 83<br />Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.<br /><br /><br />Pasal 84<br />Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal<br />79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.<br /><br />Pasal 85<br />(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.<br />(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.<br />(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur.<br />(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.<br /><br /><br />Paragraf 5<br />Keselamatan dan Kesehatan Kerja<br /><br /><br />Pasal 86<br />(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:<br />a. keselamatan dan kesehatan kerja;<br />b. moral dan kesusilaan; dan<br />c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.<br />(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.<br />(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /><br /><br />Pasal 87<br />(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.<br />(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /><br /><br />Bagian Kedua<br />Pengupahan<br /><br /><br />Pasal 88<br />(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.<br />(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan<br />yang melindungi pekerja/buruh.<br />(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat<br />(2) meliputi:<br />a. upah minimum;<br />b. upah kerja lembur;<br />c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;<br />d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;<br />e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;<br />f. bentuk dan cara pembayaran upah;<br />g. denda dan potongan upah;<br /><br />download pdf <a href="http://www.mediafire.com/download.php?hjj2aoqynjo" target="_blank">disini.</a>Amier_spirithttp://www.blogger.com/profile/11504901989410780993noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4609614602075078511.post-20187497003518564182010-01-22T22:30:00.000-08:002010-01-30T22:58:05.164-08:00KEP.NO.15A/MEN/1994KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA <br />KEP.NO.15A/MEN/1994<br />TENTANG<br />PETUNJUK PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI TINGKAT PERUSAHAAN DAN PEMERANTARAAN <br /><br /><br />MENTERI TENAGA KERJA<br /><br />Menimbang:<br /><br />a. Bahwa sesuai dengan Hubungan Industrial Pancasila perselisihan antara Pengusaha dan Pekerja diselesaikan dengan musyawarah secara kekeluargaan sehingga perselisihan tersebut tidak merusak hubungan baik antara pekerja dengan pengusaha.<br /><br />b. Bahwa Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha terhadap pekerjaanya merupakan hal yang sedang mungkin dihindari, namun demikian apabila terpaksa terjadi Pemutusan Hubungan Kerja maka diselesaikan secara baik.<br /><br />c. Bahwa petunjuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep.342/Men/1986, No. Kep. 1108/Men/1986, dan No. Kep 120/Men/1988, sudah tidak sesuai dengan kebutuhan sehingga perlu disempurnakan.<br /><br />d. Bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.<br /><br />Mengingat:<br /><br />1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia untuk seluruh Indonesia.<br /><br />2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42, Tambahan Lembaran No. 1227);<br /><br />3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 No. 93, Tambahan Lembaran No. 2686);<br /><br />4. Keputusan Presiden RI No.104 tahun 1993 tentang perubahan atas Keputusan Presiden No. 15 tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen sebagaimana telah Dua puluh kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden No. 83 tahun 1993;<br /><br />5. Keputusan Presiden RI No.96/M tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;<br /><br />6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per.02/Men/1985 tentang Syarat Penunjukan Tugas , Kedudukan dan Wewenang Pegawai Perantara;<br /><br />7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per.04/Men/1985 tentang Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon Uang Jasa dan Ganti Kerugian;<br /><br />8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per.297/Men/1985 tentang Pedoman<br /><br />Kerja Pegawai Perantara.<br />MEMUTUSKAN<br /><br />Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI TINGKAT PERUSAHAAN DAN PERANTARA/MEDIASI.<br /><br />BAB I<br />KETENTUAN UMUM<br /><br />Pasal 1<br /><br />Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :<br /><br />(1) Pegawai Perantara ialah Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;<br /><br />(2) Perselisihan Hubungan Industrial ialah perselisihan perburuhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;<br /><br />(3) Pekerja ialah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah.<br /><br />(4) Pengusaha adalah :<br /><br />1. Orang,Persekutuan atau Badan Hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;<br /><br />2. Orang, Persekutuan atau Badan Hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;<br /><br />3. orang, Persekutuan atau Badan Hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2, yang berkedudukan di luar Indonesia.<br /><br />4. Panitia Daerah ialah Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuan Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1), huruf f Undang-Undang No. 22 tahun 1957;<br /><br />5. Panitia Pusat ialah Panita Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) huruf g Undang-Undang no. 22 tahun 1957;<br /><br />6. Panitia Tenaga Kerja ialah suatu Panitia yang dibentuk oleh Departemen Tenaga Kerja dan Departemen teknis yang bertugas dan berwenang untuk menyelesaiakan masalah ketenagakerjaan yang terjadi di perusahaan dari satu sektor usaha tertentu.<br /><br />Pasal 2<br /><br />Peyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja diselesaiakan secara bertahap, mulai dari tingkat Perusahaan atau Bipartit, tingkat Perantara, tingkat Panitia Daerah dan tingkat Panitia Pusat.<br /><br />BAB II<br /><br />PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN<br />HUBUNGAN IDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA<br /><br /><br />Bagian pertama<br />Tingkat Perusahaan<br /><br />Pasal 3<br /><br />Penyelesaian Keluh Kesah sebelum menjadi perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja:<br /><br />a. Dilakukan di tingkat perusahaan secara Bipartit dengan prinsip musyawarah untuk mufakat oleh pekerja itu sendiri atau melalui atasannya dengan pengusaha;<br /><br />b. Penyelesaian keluh kesah sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dapat dilakukan melalui pengurus Pekerja yang terdaftar di Departemen Tenaga Kerja atau organisasi pekerja lainnya.<br /><br />Pengusaha dan Pekerja wajib mengupayakan agar keluh kesah yang timbul tidak menjadi perselisihan hubungan industrial atau menjadi pemutusan hubungan kerja.<br /><br />Pasal 4<br /><br />Dalam hal keluh kesah meningkat menjadi perselisihan hubungan industrial maka penyelesaiannya dilakukan :<br /><br />1. Melalui perundingan secara musyawarah untuk mufakat antara Serikat Pekerja atau gabungan Serikat Pekerja yang terdaftar di Departemen Tenaga kerja atau organisasi pekerja lainnya dengan pengusaha atau gabungan pengusaha;<br /><br />2. Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, sebanyak-banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan dan setiap perundingan dibuat risalah yang disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan;<br /><br />3. Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam huruf b memuat antara lain :<br /><br />1. Nama dan alamat pekerja<br /><br />2. Nama dan alamat Serikat Pekerja atau organisasi pekerja lainnya.<br /><br />3. Nama dan alamat perundingan<br /><br />4. Alasan atau pokok masalah perselisihan<br /><br />5. Pendirian para pihak<br /><br />6. Kesimpulan perundingan<br /><br />7. Tanggal dan tanda tangan pihak yang melakukan perundingan<br /><br />8. Apabila perundingan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) tercapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat persetujuan bersama secara tertulis yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh Pengurus Serikat Pekerja setempat pada Perusahaan yang telah terbentuk Serikat Pekerja atau organisasi pekerja lainnya serta disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.<br /><br />9. Apabila perundingan sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak tercapai kesepakatan penyelesaian, maka kedua belah pihak dapat menyelesaiakan melalui Arbitrase.<br /><br />10. Dalam hal kedua belah pihak menghendaki penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam huruf e, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak meminta kepada Kantor departemen Tenaga kerja setempat dengan tembusan kepada Panitia Daerah disertai bukti-bukti perundingan untuk diselesaikan melalui perantara.<br /><br />Pasal 5<br /><br />Dalam hal keluh kesah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 berkembang menjurus kepada pemutusan hubungan kerja maka penyelesaiannya sebagai berikut :<br /><br />a. Penyelesaian harus dirundingkan secara musyawarah untuk mufakat antara pengusaha dengan pekerja itu sendiri atau dengan Serikat Pekerja yang terdaftar di departemen Tenaga Keerja atau organisasi pekerja lainnya apabila pekerja tersebut menjadi anggota;<br /><br />b. Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) kali dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan, dan setiap perundingan dibuat risalah yang disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan;<br /><br />c. Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam huruf b memuat antara lain :<br /><br />1. Nama dan alamat<br /><br />2. Nama dan alamat Serikat Pekerja atau organisasi pekerja lainnya<br /><br />3. Nama dan alamat pengusaha atau yang diwakili<br /><br />4. Tanggal dan tempat perundingan<br /><br />5. Pokok masalah atau alasan Pemutusan Hubungan Kerja<br /><br />6. Pendirian para pihak<br /><br />7. Kesimpulan perundingan<br /><br />8. Tanggal dan tanda tangan pihak-pihak yang melakukan perundingan.<br /><br />d. Apabila perundingan sebagaimana dimaksud dalam huruf a mencapai kesepakatan, maka dibuat persetujuan bersama secara tertulis yang ditandatangani oleh para pihak dan disamakan oleh Pengurus Serikat Pekerja atau organisasi pekerja lainnya serta disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan;<br /><br />e. Apabila perundingan sebagaimana dimaksud huruf a, tidak mencapai kesepakatan, maka sebelum pengusaha mengajukan permohonan izin pemutusan hubungan kerja kepada Panitia Daerah, untuk pemutusan hubungan kerja perorangan atau Panitia Pusat untuk pemutusan kerja massal, kedua belah pihak atau salah satu pihak dapat mengajukan permintaan kepada Kantor Departemen Tenaga kerja setempat untuk diperantarai oleh Pegawai Perantara;<br /><br />f. Hasil perundingan baik yang telah tercapai persetujuan bersama maupun tidak harus dilampirkan pada setiap pengajuan permohonan izin pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha.<br /><br /><br />Pasal 6<br /><br />Dalam hal timbul keluh kesah, penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja, pengusaha sedapat mungkin menghindarkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out) dan pekerja sedapat mungkin menghindari terjadinya mogok/unjuk rasa atau slow down.<br /><br />Pasal 7<br /><br />Dalam hal terjadinya Perselisihan Hubungan Industrial diluar ketentuan Peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan, penyelesaiannya dilakukan secara terpadu dengan instansi terkait sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.<br /><br /><br /><br />Bagian Kedua<br />Tingkat Perantaraan<br /><br />Pasal 8<br /><br />Penyelesaian tingkat perantaraan :<br /><br />a. Pegawai Perantara harus menerima setiap permintaan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja;<br /><br />b. Pegawai Perantara setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus menawarkan kepada kedua belah pihak apakah perselisihan hubungan industrial tersebut akan diselesaiakan melalui Arbitrase;<br /><br />c. Dalam hal kedua belah pihak tidak menghendaki penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Arbitrase, Pegawai Peranatara dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari harus sudah mengadakan perantaraan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk mengadakan penelitian dan usaha penyelesaian masalah-masalah yang sifatnya normative melalui Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan;<br /><br />d. Tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf c, berlaku juga bagi perantaraan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja;<br /><br />e. Pegawai Perantara dalam melaksanakan perantaraan Perselisihan Hubungan Industrial atau Pemutusan Hubungan Kerja harus mengupayakan penyelesaian melalui perundingan secara musyawarah untuk mufakat;<br /><br />f. Dalam hal perantara sebagaimana dimaksud dalam huruf e tercapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat persetujuan bersama secara tertulis yang ditandatangani oleh para pihak dan diketahui/disaksikan oleh Pegawai Perantara.<br /><br />g. Pegawai Perantara setelah menerima persetujuan bersama Peselisihan Hubungan Industrial atau Pemutusan Hubungan Kerja yang dicapai di tingkat perusahaan, dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari harus sudah meneruskan kepada Panitia Daerah untuk Perselisihan Hubungan Industrial atau Pemutusan Hubungan Kerja perorangan dan kepada Panitia Pusat untuk Pemutusan Hubungan Kerja massal;<br /><br />h. Dalam hal perantaraan sebagaimana dimaksud dalam huruf e tidak tercapai kesepakatan penyelesaian, Pegawai Perantara harus membuat anjuran secara tertulis yang memuat usul penyelesaian dengan menyebutkan dasar pertimbangannya dan menyampaikan kepada para pihak serta mengupayakan tanggapan para pihak dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya anjuran dimaksud;<br /><br />i. Apabila kedua belah pihak menerima anjuran sebagimana dimaksud huruf h maka dibuat Persetujuan Bersama secara tertulis diselesaiakan seperti tersebut dalam huruf g;<br /><br />j. Dalam hal anjuran tidak diterima oleh para pihak/salah satu pihak, maka pegawai perantara membuat Laporan Perantaraan Bentuk II secara lengkap, sehingga memberikan ikhtisar yang jelas mengenai penyelesaian perkara.<br /><br />k. Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf j beserta tanggapan para pihak/salah satu pihak disampaikan kepada Panitia Daerah untuk perselisihan hubungan industrial atau kepada Panitia Pusat untuk pemutusan hubungan kerja massal dengan tembusan kepada Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat.<br /><br />l. Dalam hal Perantaraan Perselisihan terdapat tuntutan yang bersifat normatif antara lain upah lembur, tunjangan kecelakaan dan cuti tahunan, maka Pegawai Perantara meminta bantuan kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Kantor Departemen Tenaga kerja setempat untuk menetapkan dan menghitung upah lembur tersebut;<br /><br />m. Dalam hal penetapan upah lembur, Pegawai Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l merupakan satu kesatuan dengan masalah Pemutusan Hubungan Kerja, maka Pegawai Perantara meneruskan kepada Panitia Daerah atau Panitia Pusat untuk penyelesaian lebih lanjut.<br /><br /><br />Pasal 9<br /><br />Penyelesaian di tingkat perantaraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 harus sudah selesai dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.<br /><br />Pasal 10<br /><br />(1) Dalam hal Pegawai Perantara menerima pengaduan berhubungan dengan masalah ketenagakerjaan pada Badan Usaha Milik negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). maka Pegawai Perantara dapat memberikan jasa-jasa baik.<br /><br />(2) Dalam penyelesaian pengadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai kesepakatan penyelesaian maka Pegawai Perantara membuat Persetujuan Bersama secara tertulis dan apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian dibuatkan anjuran secara tertulis.<br /><br />(3) Apabila anjuran Pegawai Perantara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak diterima, maka Pegawai Perantara meneruskan Permasalahannya kepada Korpri BUMN/BUMD yang bersangkutan untuk penyelesaian lebih lanjut.<br /><br />(4) Dalam Penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pegawai Perantara dapat mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan instansi tehnis, Pemerintah Daerah dan Korpri.<br /><br />(5) Untuk sektor pada BUMN yang sudah apa Panitia Tenaga Kerja, maka Pegawai Perantara, Menyerahkan penyelesaiannya kepada Panitia Tenaga Kerja yang bersangkutan.<br /><br />Pasal 11<br /><br />(1) Apabila Pegawai Perantara mengetahui terjadinya penutupan perusahaan (lock out), pemogokan dan atau slow down Pegawai Perantara langsung mendatangi lokasi kejadian.<br /><br />(2) Dalam menangani kejadian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pegawai Perantara mengupayakan dan menganjurkan kepada para pekerja agar bekerja kembali seperti semula dan menganjurkan pengusaha agar meneruskan kegiatannya.<br /><br />(3) Pegawai Perantara segera melakukan perundingan dengan para pihak untuk menyelesaikan masalah ketenaga kerjaan yang menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out), pemogokan dan atau slow down.<br /><br />(4) Dalam hal perundingan dimaksud dalam ayat (3) tercapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Persetujuan Bersama secara tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yang diketahui/disaksikan oleh Pegawai Perantara<br /><br />(5) Dalam hal perundingan dimaksud dalam ayat (3) tidak tercapai kesepakatan penyelesaian, maka pegawai perantara manyarankan kepada Panitia Daerah mengenai masalah Perselisihan serta kepada Panitia Pusat mengenai Pemutusan Hubungan Kerja massal untuk penyelesaian lebih lanjut.<br /><br /><br />BAB III<br />KETENTUAN PENUTUP<br /><br />Pasal 12<br /><br />(1) Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan mengawasi pelaksanaan Keputusan Menteri ini sesuai dengan tugas dan fungsinya.<br /><br />(2) Dalam hal Pegawai Pengawas mengetahui adanya gejala akan terjadi Perselisihan Hubungan Industrial wajib segera mengambil langkah-langkah sesuai dengan kewenangannya dan melaporkan kepada atasannya.<br /><br /><br />Pasal 13<br /><br />Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Tenaga Kerja No.Kep. 342/Men/1986 tentang Pedoman/Petunjuk Umum Perantaraan Perselisihan Hubungan Industrial khususnya dalam menghadapi kasus-kasus mengenai upah lembur, pemogokan, pekerja kontrak, pemutusan hubungan kerja dan perubahan status atau pemilikan perusahaan, No. Kep. 1108/Men/1986 tentang Pedoman Pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja dan No. Kep. 120/men/1988 tentang pedoman Penuntun Perilaku (Code of Conduct) dalam pencegahan dan penyelesaian perselisihan industrial dinyatakan tidak berlaku lagi.<br /><br />Pasal 14<br /><br />Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.<br /><br />Ditetapkan di Jakarta<br /><br />Pada tanggal : 4-1-1993<br /><br />MENTERI TENAGA KERJA RI<br /><br /><br />ttd<br /><br /><br />Drs. ABDUL LATIEFAmier_spirithttp://www.blogger.com/profile/11504901989410780993noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4609614602075078511.post-39305392581242347862010-01-18T19:31:00.001-08:002010-01-27T22:39:25.061-08:00Salam satu jiwaassalamualaikum Wr.Wb<br />puji syukur kehadirat Allah.<br />ini adalah BLOG pertama saya di internet,kesan saya ternyata membuat BLOG itu mudah,jika anda senang berinteraksi,bergaul dengan semua orang,maka memiliki BLOG adalah salah satu cara yang bisa anda lakukan. bukan saja karena gratis akan tetapi juga bisa menambah wawasan, teman,informasi, pengalaman. namun proses pembutanyan yang mudah<br /><br />ayo kita ngeBLOG <br />dengan nge-blog anda bisa berekspresi,berkreasi serta menuangkan pikiran tanpa di bebani oleh aturan-aturan...........<br /><br />Salam satu Jiwa<br />Bloger AREMA<br /><br />http://amiergimbritAmier_spirithttp://www.blogger.com/profile/11504901989410780993noreply@blogger.com0